Kamis, 05 Mei 2016

Tutorial Belajar HTML 2 – Elemen HTML


Elemen HTML, apa tuh? Nah, dalam Belajar HTML yang lalu, kamu udah nyoba membuat halaman HTML pertama kamu dan mengerti cara bikinnya. Berikutnya kamu harus belajar elemen HTML dan cara menuliskannya. Kamu akan memerlukan definisi dasar ini dalam proses belajar HTML yang kamu lakukan sepanjang tutorial di sini. Berikut petunjuk pentingnya.

Ingat petunjuk penting ini:

Dokumen HTML adalah file teks yang terdiri dari elemen HTML. Nah, elemen HTML itu didefinisikan menggunakan apa yang disebut dengan tag HTML.

Ingat, elemen HTML didefinisikan dengan tag HTML. Apa yang dimaksud dengan tag HTML? Nah, berikut poin-poin yang akan membantu kamu mengingat dan memahami pengertian Tag HTML:
  • Tag HTML digunakan untuk menandai (mark-up) elemen HTML
  • Tag HTML berada di antara dua karakter penanda berikut < dan >
  • Karakter penanda itu disebut dengan tanda kurung siku
  • Tag HTML umumnya selalu berpasangan seperti <b> dan </b>
  • Tag pertama adalah tag pembuka, dan tag kedua adalah tag penutup
  • Teks di antara kedua tag tersebut disebut isi elemen
  • Tag HTML tidak bersifat case sensitif, <b> memiliki arti yang sama dengan <B>

Elemen HTML
Ingat contoh HTML di tutorial sebelumnya ka

1 <html>
2   <head>
3      <title>Judul Halaman</title>
4   </head>
5   <body>
6       Ini halaman pertama saya. <b>Teks ini ditebalkan</b>
7   </body>
8 </html>

Ini adalah elemen HTML:
1 <b>Teks ini ditebalkan</b>

Berikut penjelasan tentang Elemen HTML tersebut:

  • Elemen HTML ini dimulai dengan tag pembuka: <b>
  • Isi dari elemen HTML adalah: Teks ini ditebalkan
  • Elemen HTML diakhiri dengan tag penutup: </b>
Fungsi tag <b> adalah untuk mendefinisikan sebuah elemen HTML yang harus ditampilkan dengan huruf tebal.

Nah, ini juga elemen HTML:

1 <body>
2    Ini adalah halaman pertama saya. <b>Teks ini ditebalkan</b>
3 </body>

Elemen HTML ini dimulai dengan tag pembuka <body>, dan berakhir dengan tag penutup </body>
Fungsi dari tag <body> adalah untuk mendefiniskkan elemen HTML yang berisi badan (isi) dari dokumen HTML.

Mengapa kita menggunakan tag dalam huruf kecil?
Kita sudah membahas sebelumnya bahwa tag HTML tidak case sensitif: <B> memiliki arti yang sama dengan <b>.  Kalau kamu lagi surfing web, kamu akan melihat bahwa banyak situs web menggunakan tag HTML dalam huruf besar dalam source codenya. Tapi dalam contoh di atas, kita menggunakan huruf kecil. Tahu kenapa?

Kalau kamu mengikuti standar web terbaru, kamu harus selalu menggunakan tag dalam huruf besar. World Wide Web Consortium (W3C) merekomendasikan penggunaan huruf kecil dalam rekomendasi HTML 4 mereka, dan XHTML (generasi berikutnya dari HTML) memerlukan tag dalam huruf kecil.
Ok, kamu baru aja belajar tentang elemen HTML. Dan mustinya saat ini kamu udah mulai terbiasa dengan istilah tag. Kalau belum biasakan diri kamu dengan istilah ini, karena dalam proses belajar HTML, kamu kudu familiar dengan kata tag. Lha wong HTML itu ya tag-tag itu ko.

Berikutnya, kita akan membahas tentang dasar HTML terutama beberapa Tag HTML yang menarik untuk mengubah tampilan paragraf, judul, dll. Oh ya, sekedar mengingatkan, kalau kamu belum sempat melihat, silakan cek dulu tutorial HTML apa saja yang ada di prothelon.com ini.

Pengenalan HTML


Belajar HTML merupakan proses pertama yang umumnya dilakukan oleh para web programer. Nah setelah selesai dengan belajar HTML, maka kamu akan memiliki kemampuan untuk membuat halaman web statis. Berikutnya kamu pasti pengen bisa bikin halaman web yang memiliki kemampuan untuk berinteraksi dengan pengunjung secara lebih intens. Waktu itulah kamu perlu mulai belajar PHP. Setelah belajar PHP maka kamu bisa melanjutkan dengan belajar MySQL untuk menambah kemampuan PHP kamu.
Saya bisa dengan singkat menjelaskan seperti ini.
HTML diperlukan terutama untuk membuat tampilan web, PHP untuk menambah kemampuan interaksi dengan pengunjung dan kemampuan menyimpan data akan disupport oleh MySQL. Lengkap sudah semuanya. Namun tentu saja web programming tidak hanya sebatas itu. Selain belajar HTML, PHP dan MySQL, tentu saja kamu dapat mempelajari juga bahasa script lain yang akan lebih memperindah tampilan web kamu dan mempermudah proses desain web kamu seperti CSS dan Javascript. Kamu juga mungkin akan perlu menambah ketrampilan kamu dalam membuat desain web dangan berbagai aplikasi pembuat web seperti Dreamweaver dan FrontPage serta belajar aplikasi pengolah gambar seperti Fireworks dan Adobe.
Tetapi untuk saat ini kita akan konsentrasi ke materi belajar HTML yang menjadi dasar semua pemrograman web.
Perlu saya sampaikan di sini bahwa meskipun kamu sudah  menguasai berbagai aplikasi yang mempermudah desain web, tetapi walau bagaimanapun pada akhirnya kamu tetap akan memerlukan kemampuan untuk melakukan pemrograman hands on alias manual untuk melakukan berbagai tuning dalam program kamu.
Oh ya, sebelum saya lupa, saya perlu sampaikan bahwa tutorial belajar HTML ini hanya salah satu dari puluhan tutorial lain tentang HTML yang ada di prothelon. Saran saya, silakan lihat dulu daftar tutorial HTML ini dan pelajari tutorial-tutorial tersebut secara berurutan untuk mendapatkan hasil yang maksimal.
Siap? OK, kita akan mulai belajar HTML.
Pengenalan HTML
Apa yang dimaksud dengan file HTML?
–    HTML merupakan kependekan dari Hyper Text markup Language
–    Sebuah file HTML merupakan sebuah file teks yang berisi tag-tag markup
–    Tag markup memberitahukan browser bagaimana harus menampilkan sebuah halaman
–    File HTML harus memiliki ekstensi htm atau html
–    File HTML dapat dibuat menggunakan editor teks yang biasa kamu pakai.
Pengen Nyoba Bikin?
Mulailah dengan membuka Notepad (di Windows XP bagi yang belum pernah klik Start, Program, Accessories, Notepad).
Ketikkan teks berikut:
<html>
<head>
<title>Judul Halaman</title>
</head>
<body>
Ini halaman pertama saya. <b>Teks ini ditebalkan</b>
</body>
</html>
Simpan dengan nama “halamanku.htm” (jangan lupa tambahkan tanda kutip ganda pada nama filenya. Kalau lupa maka nama filenya akan menggunakan ekstensi default .txt sehingga menjadi halamanku.htm.txt).
Buka Browser kamu (misalnya internet explorer). Kilk File, Open, Browse dan pilih cari file halamanku.htm yang tadi kamu bikin. Klik OK, dan browser akan menampilkan halaman yang tadi kamu buat.
Gampang kan? Atau masih bingung? Ok, kita akan melihat penjelasan dari contoh di atas.
Try This: 4 Langkah Mudah Belajar Cara Membuat Website, Langsung Praktek! KLIK DI SINI!.
Setiap tag diapit oleh tanda lebih kecil dan lebih besar. Kamu bisa melihat bahwa tag pertama adalah <html>. Tag HTML pada umumnya selalu memiliki pasangan yang memiliki tag sama dengan sedikit tambahan tanda garis miring “/”, dan kamu bisa melihat pasangan tag <html> di akhir script yaitu </html>.
Tag <html> memberitahu browser bahwa inilah awal dari dokumen HTML. Tag pasangannya yaitu </html> menyatakan bahwa inilah akhir dari dokumen HTML.
Teks di antara <head> dan </head> adalah teks informasi header. Informasi header ini tidak ditampilkan pada jendela browser.
Teks di antara <title> adalah judul dokumen kamu. Judul ini akan ditampilkan di caption browser (lihat di bagian paling atas kanan dari browser kamu).
Teks di antara tag <body> adalah teks yang akan ditampilkan pada jendela browser kamu.
Dan terakhir, teks di antara <b> dan </b> akan ditampilkan dalam huruf tebal.
Nah, dengan penjelasan ini kamu mustinya udah mulai manggut-manggut dan merasa, ko ternyata belajar HTML gampang gini yah :). Mudah-mudahan.
Sekarang kita akan lihat mengenai ekstensionnya. Sebagaimana sudah disampaikan di awal, kita bisa membuat file HTML dengan 2 ekstension yaitu .htm dan .html. Nah ekstension .htm ditujukan untuk operating sistem jaman dulu yang hanya mensupport ekstensi 3 huruf. Sedangkan ekstensi .html akan lebih aman digunakan jika OS dan aplikasinya support karena lebih jelas menunjukkan bahwa ini adalah file HTML.
Sebagai catatan, setiap kamu melakukan perubahan pada file HTML kamu, maka kamu harus me refresh browser untuk melihat perubahan tampilannya.
Ok, tutorial belajar HTML sesi perkenalan cukup, kita akan melanjutkan ke level berikutnya tentang elemen HTML. Kamu juga bisa melihat daftar tutorial HTML apa saja yang ada di prothelon.com

Rabu, 27 April 2016

Aku Dan Cita Cita Ku

Aku menatap lalu lalang mobil dengan pandangan bingung. Bus yang membawaku pulang ke rumah melaju kencang atau bisa dibilang ugal-ugalan. Jujur, aku bingung. Kejadian di sekolah tadi masih mengganggu pikiranku. Memang bukan kejadian besar tetapi itu membuatku berpikir keras dan berusaha mencari kejelasan atas apa yang aku lakukan.
Jadi, tadi sebelum pulang sekolah, guru BK menyuruh anak-anak kelasku untuk menulis satu cita-cita yang PALING ingin diraih. Paling inging diraih? Satu cita-cita? Itulah yang ada di pikiranku hingga sekarang. Satu? Aku punya beribu cita-cita. Jadi wartawan, reporter, penyiar radio, dokter cinta, psikolog, arsitektur, sastrawan, editor, ahli komputer, ustadzah, guru-eh? Guru? Tunggu! Itu kan cita-cita sewaktu aku masih kecil.. Dan sudah lama banget aku nggak kepikiran soal cita-cita itu.
Apa ada sesuatu yang ku lupakan? Kenapa dulu aku ingin jadi guru? Apa sih spesialnya jadi guru? Argh… Karena itulah aku bingung.. Kenapa harus menulis satu saja sementara aku punya banyak cita-cita. Karena waktunya juga terbatas, akhirnya aku menulis cita-citaku adalah menjadi seorang guru. Aku menulisnya tanpa alasan. Ada ruang kosong di hati saat menulisnya. Kenapa? Kenapa di lembaran kertas putih itu aku ingin menjadi seorang guru? Apa yang sudah ku lupakan? Kenapa tujuan hidupku seolah berubah dan bercabang? Yang awalnya hanya ingin menjadi seorang guru lalu bercabang dan menjadi banyak cita-cita. Apa yang salah dari diriku?
Aku memasuki rumah sambil mengucap salam. Sepertinya aku harus mengorek masa lalu. Kenapa dulu aku ingin menjadi seorang guru. Pasti ada alasannya. Pasti juga ada alasan kenapa cita-citaku jadi banyak seperti itu. Aku membuka kembali diary masa kecilku. Aku baca lembar demi lembar halamannya. Meskipun aku tak menemukan alasan kenapa aku ingin menjadi seorang guru, aku cukup terhibur dengan isi diaryku. Cara penulisannya yang polos, cerita-cerita tidak penting yang aku tulis, terlalu banyak kata ‘lalu’ untuk menyambung suatu cerita, juga tulisanku yang besar-besar dan tidak rapi membuatku bernostalgia sekaligus tertawa dibuatnya.
“Lagi apa, Fe?” tanya kakak perempuanku yang bernama Ruri.
“Lagi nyari sesuatu,” jawabku seadanya.
“Sesuatu? Kok buka-buka buku diary segala,” Kak Ruri terkekeh, “Nyari apa sih? Nyari nama mantan?” ia menyenggol lenganku dengan senyum menggoda.
“Mantan? Pacaran aja belum pernah masa nyari nama mantan,” aku menggembungkan pipiku yang cubby.
“Nyari apa dong kalau gitu?” tanyanya penasaran.
“Nyari alasan.”
“Alasan?” Kak Ruri menautkan alis.
“Alasan kenapa aku ingin jadi guru.”
“Oh…”
“Kak Ruri tahu nggak kenapa dulu waktu aku kecil aku ingin banget jadi guru?”
“Hm… Gak tahu sih. Mungkin karena suruhan Ayah sama Ibu. Dulu kan Ayah sama Ibu inginnya kamu jadi guru. Gak tahu deh kalau sekarang cita-cita kamu berubah,” Kak Ruri mengangkat bahunya dan disambut helaan napas dariku.
“Emang cita-cita kamu selain jadi guru apaan, Fe?”
“Ya banyak!” jawabku antusias.
“Contohnya?”
“Psikolog, penyiar, novelis–”
“Coba deh kamu pikir alasan kamu ingin jadi psikolog, penyiar, novelis, pasti ada alasannya, kan?” potong Kak Ruri. “Aku ingin jadi psikolog karena aku ingin memotivasi orang. Aku ingin jadi penyiar karena aku menganggap pekerjaan itu asyik. Aku ingin novelis karena aku suka nulis. Aku ingin jadi guru karena…”
“Karena jawaban itu ada pada diri kamu sendiri. Nggak usah dicari, Fe..” potongnya.
“Harus dicari, Kakakku tersayang… Ah! Udah ah! Kakak nggak ngasih solusi.. Udah kelas tiga, bentar lagi ujian, masih aja bingung mau ngambil jurusan apa. Karena itu guru BK tanya cita-cita. Huh!” keluhku sebal.
“Hahaha… Nggak sulit kok, Fe. Kamu aja yang bikin sulit.”
“Kenapa sih… Dulu aku ingin banget jadi guru?” teriakku dengan nada frustrasi.
“Haha! Masalah profesi aja bisa bikin kamu stres, Fe!” ledeknya.
“Hah…” aku menghela napas panjang, “Harus nyari di google ya, Kak kelebihan jadi seorang guru?” sontak Kak Ruri terbahak-bahak. “Jawaban itu ada pada diri kamu sendiri. Kalau kamu nggak nemuin, cari dong! Tanyakan pada teman-temanmu.. Apa sih kelebihan seorang guru. Kalau menurutmu sendiri gimana?”
“Mm… Nggak ada. Guru itu, berangkat, ngajar, pulang. Selesai!”
Kak Ruri tertawa terbahak-bahak, “Jangan-jangan kamu mikir pekerjaan Kakak sebagai fotografer cuma foto-foto doang gitu? Pikiranmu pendek sekali, Fe… Udah ah! Cape ngomong sama anak kecil! Mau kuliah kok pikirannya masih kayak gitu!” ledeknya dan aku hanya menggembungkan pipi melihatnya memasuki kamar.
“Kelebihan jadi guru, Fe?” seru sahabatku-Angel sewaktu aku menceritakan cita-citaku tersebut pada ketiga sahabatku. “Menurutku ya, guru itu pekerjaan monoton. Berangkat, ngajar, pulang, nggak ada asyik-asyiknya!” seru sahabatku -Vita.
“Gajinya juga dikit, Fe,” tambah Angel, “Gak sebanyak bos-bos di perusahaan,” ia tersenyum menggoda sambil mengaduk jus strawberry-nya.
“Tapi menurutku ya, meskipun guru gajinya dikit, tapi dapat banyak pahala,” seru Erin dengan senyum merekah.
“Iya sih, tapi kalau ngajarnya kayak Bu Surti malah dapat dosa dong!” seru Vita dan sontak disambut gelak tawa dari kami berempat.
“Bu Surti itu kepaksa jadi guru!” tambah Angel.
“Ulangan dijadiin PR. Kerjaannya di kelas cuma presentasi, ngerjain LKS. Hahahaha…” tambah Erin.
“Hei, dia itu guru kita tahu! Jangan kualat!” seruku di sela-sela tawa.
“Asyik juga sih sebenernya. Kita nggak perlu mikir pelajaran. Bu Surti juga murah nilai. Tapi, dia nggak ngasih kita ilmu sama sekali. Layaknya sebuah telur yang nggak ada kuningnya,” ujar Angel.
“Yup! Terserah kamu aja sih, Fe kalau mau jadi guru. Kalau bisa kamu harus lebih baik dari Pak Edi. Udah Pak Edi itu ngajarnya enak, nggak banyak PR, murid-murid jadi paham, gak pelit nilai lagi!” seru Erin antusias.
“Kalau menurutku ya, nilai itu tergantung pendirian masing-masing guru. Jangan terlalu pelit, jangan terlalu baik. Kalau terlalu pelit, murid bakal benci sama kita. Kalau terlalu baik, murid malah nyepelein kita,” tambah Vita. “Kamu kan udah jadi murid nih, harusnya kalau mau jadi guru, kamu tahu kriteria seperti apa guru yang baik,” tambah Erin.
“Hm! Teman-teman, kembali ke pertanyaan awalku. Apa sih kelebihan jadi guru?” tanyaku karena tak menemukan jawaban dari pertanyaanku tadi.
“Kalau bagiku yang menuntut hidup banyak materi di dunia, guru itu banyak kekurangan,” Angel mengaduk jus strawberry-nya, “Gajinya dikit. Gak sebanyak jadi pengusaha. And… Mm.. Kelebihannya ya itu, banyak pahala.”
“Kekurangan jadi guru itu.. Menurutku loh ya, pekerjaannya monoton. Tapi pekerjaan monoton itu tergantung cara kita menyikapinya. Kalau kita have fun jadi guru, ya udah jalanin aja. Kelebihannya, seperti yang Angel bilang, banyak pahala! Ingat nggak tiga perkara yang ditinggalkan sesudah mati? Ilmu yang bermanfaat. So, jadi guru pahalanya terus mengalir,” kata Vita.
“Semua pekerjaan ada kekurangan sama kelebihannya, Fe. Tergantung cara kita memandang kekurangan dan kelebihan itu. Jadi guru banyak kok kelebihannya. Gak semonoton yang Vita bilang. Kita bisa bertemu murid-murid yang menghormati kita yang berbeda tiap tahunnya, dapat pahala, gajinya juga standar biar kita nggak jadi manusia yang tamak, dan kita bisa meluangkan banyak waktu buat keluarga,” ujar Erin dengan senyum lembut, “Oh ya, saranku kalau kamu jadi guru, please ubah karakter bangsa ini. Waktu sekolah aja mereka udah nyontek, nyari bocoran, apalagi nanti kalau mereka kerja, bisa korupsi tahu! Mereka itu sama aja udah nganggap Tuhan nggak ada. Mereka sama sekali nggak takut sama Tuhan.”
“Tapi, Rin, otakku pas-pasan.. Nggak kayak kamu..” elak Angel.
“Angel, bukan masalah otak. Masalah letak kejujuran dalam hatimu. Anak Indonesia tuh pembohong semua tahu nggak?! Bangsa ini akan hancur kalau tunas-tunas mudanya adalah seorang pembohong! Karena itu kadang aku mikir, buat apa sekolah kalau cuma nambah dosa doang. Sekolah itu kayak nuntut kita buat ngelakuin dosa! Temen-temen lain, ngepek, dapat nilai bagus. Aku yang jujur dapat nilai jelek malah dimarahin gurunya. Guru macam apa itu? Malah membela yang salah. Gurunya aja udah hancur. Muridnya tambah hancur,” seru Erin tak mau kalah.
“Sabar, Rin,” aku berusaha menenangkan Erin.
“Aku salut sama kamu, Rin. Kamu berani mengambil resiko dengan kejujuran. Aku nggak bisa jadi seperti kamu. Aku selalu ngikutin hawa nafsu dan perkataan temen-temen. Bagaimanapun juga nilai bagus adalah targetku entah pake cara apa. Aku bangga sama kamu. Aku senang Indonesia punya orang kayak kamu,” sahut Vita antusias.
“Guru yang harusnya bisa membentuk karakter murid malah memperparah muridnya sendiri,” kataku lebih pada diriku sendiri yang ingin menjadi seorang guru.
“Tapi, udah dibilangin kayak gitu aku nggak akan berhenti nyontek. Nanti nilaiku turun lagi. Nanti orangtuaku kecewa,” sela Angel dengan wajah innocent.
“Tuh kan! Lebih mentingin duniawi! Orangtuamu bakal lebih kecewa kalau itu nilai yang kamu dapat hasil ngepek, nyontek!” seru Erin kesal.
“Emang kamu nggak mikir, orangtuamu bakal bangga gitu kalau kamu nunjukin nilai-nilai jelek terus kamu bilang ‘Aku ini jujur loh…’ Hah.. orangtuamu nggak bakal bangga sama tuh nilai! orangtua tuh cuma peduli hasil akhirnya! Nggak peduli prosesnya kayak gimana!”
“Ya iya.. Karena itu aku belajar.. Buat nggak nambahin dosa-dosaku.”
“Itu riya’ tahu nggak?! Pamer! Sok alim!”
“Hei!” seruku dan Vita menghentikan perdebatan dua insan ini.
“Angel, Erin, udah. Susah nyatuin pendirian yang sama-sama kuat!” seruku menengahi mereka.
Angel menghela napas kesal, “Fe, kalau kamu jadi guru, ngajarin yang bener sampai muridmu bener-bener paham! Jangan sampe mereka nyontek ataupun ngepek!” seru Angel, “Aku nggak mau keturunanku lebih buruk dari aku.”
“Fe, bilangin juga sama murid-muridmu nanti, kalu ulangan sejarah sama Pkn jangan ngepek! Otak manusia tuh hebat! Dipergunain tuh buat menghafal! Manusia tuh bisa menghafal satu buku sekaligus! Cuma, manusianya aja yang males!” seru Erin tak mau kalah.
“Fe! kalau jadi guru jangan yang galak ya! Hehe…” kata Vita dengan senyum merekah.
“Hm! Pasti! Aku bakal jadi guru yang baik agar bangsa Indonesia bisa berubah,” aku mengangguk mantap. Tunas-tunas muda bangsa Indonesia, aku akan menunjukkanmu jalan yang benar agar Indonesia tak terpuruk lagi seperti ini..
Dear Diary,
Tadi ada sebuah kejadian besar di hidupku. Entah kenapa aku mendapat alasan kenapa dulu aku ingin menjadi seorang guru. Hm.. Aku ingat, Dear secara tiba-tiba. Berangkat, ngajar, pulang, yang Vita bilang monoton sebenarnya itu adalah hal yang simple, nggak ribet. Jadi aku punya banyak waktu luang buat keluarga atau ngelakuin hal-hal bermanfaat lainnya. Gaji dikit yang Angel bilang, itu adalah sebuah kesederhanaan yang aku impikan sejak kecil agar tak menjadi manusia tamak yang melupakan Tuhan.
Aku juga ingin mengamalkan ilmu yang telah ku terima, membagi pengalamanku, dan mengajari murid-muridku tentang Islam. Lewat profesi guru, aku bisa berdakwah. Pelan-pelan, ku ubah anak Indonesia ke jalan yang lebih baik. Seperti yang Erin bilang. Sekolah itu bukan untuk menambah dosa tetapi menuntut ilmu agar mendapat pahala dan bisa mengamalkannya. Aku juga ingin membangun karakter bangsa Indonesia. Kejujuran. Itulah kunci utama. Aku harus menciptakan cara supaya murid-muridku menjadi manusia yang jujur. Tidak urakan lalu mencari bocoran ke mana-mana. Jujur dan percaya akan diri sendiri namun tidak melupakan Allah SWT.
Seperti yang Vita bilang, tiga perkara yang kita tinggalkan saat meninggal dunia yaitu ilmu yang bermanfaat. Aku yakin ilmuku pasti mengalir, diamalkan, dan akan memberikan pahala di setiap alirannya. Aku juga tidak mau menjadi guru seperti Bu Narti yang disepelekan oleh murid-muridnya. Aku ingin membuat murid-muridku benar-benar paham apa yang aku sampaikan. Membuat mereka paham, percaya diri untuk bertanya, tertawa oleh lelucon-leluconku, tidak tengok kanan-kiri-bawah saat ulangan, mendapat hasil sesuai usaha dan doa. Memang sih kalau anak Indonesia bisa menjadi seperti itu mungkin Indonesia bisa menjadi negara maju. Tetapi aku tahu, semua itu butuh usaha dan doa.
Karena itu, aku akan menyusun strategi mulai sekarang, belajar dengan giat, selalu berdoa agar diberi kemudahan, and do the best for all. Belajar jadi Ibu yang baik dari mengajar, meningkatkan mutu pendidikan Indonesia yang kian terpuruk, memberi motivasi untuk membangun karakter bangsa ke arah yang lebih baik, jadikan bangsa Indonesia bangsa yang jujur! Dear, sepertiga hari yang dihabiskan anak-anak adalah di sekolah. Jadi intinya sekolah itu untuk membangun karakter mereka selain ajaran orangtua. Jadi guru yang baik untuk anak-anak bangsa! Fe bisa! Fe fight! Fight! Fight! Fight! Jangan cabangkan cita-citamu lagi! Jangan jadi bocah ababil! Dewasalah! Bentar lagi mau kuliah! Nggak boleh kayak anak kecil! Yosh! Fight! Be the best teacher for Indonesian! Yahu! Guru, itulah cita-citaku! Fe.
“Udah nemuin alasan jadi guru?” goda Kak Ruri.
“Udah dong!” seruku antusias.
“Aaapa?” tanyanya penasaran.
“Rahasia… Mau tahu? Kalau alasan Kak Ruri jadi fotografer apa?”
Kak Ruri terkekeh, “Mau tahu aja, apa mau tahu banget? Yang pasti itu rahasia!”
“Gitu kan! Pelit!”
“Ye! Biarin! Kalau alasan cita-citamu jadi banyak kayak gitu apa, Fe?”
“Hm… Aku ababil…” jawabku malu-malu kucing.
“Namanya juga ABG.. Tahap-tahap keababilan biasalah! Yang penting kamu jangan sampai salah pilih jalan.”
“Siiiap! Aku nggak akan salah pilih lagi, Kakak!” kita berdua tertawa bersama.
Udah tahu kan asyiknya jadi seorang guru? It’s so fun and amazing career! Dan.. Guru adalah pahlawan. Pahlawan tanpa tanda jasa.
SELESAI

Pacar Bukanlah Segalanya

“Naya, aku jadian sama Riko,” ucap Mira kegirangan.
Mira adalah sahabatku dari kecil, kami selalu bersama-sama ke mana pun. Kami juga aktivis pengajian. Di usianya yang remaja ini Mira mulai jatuh cinta pada seorang laki-laki yang bernama Riko. Dia adalah kakak kelas kami, Mira sangat tergila-gila padanya.
“Aku ikut senang, Mir. Tapi ingat! Pacar bukan segalanya,” ucapku menasihati Mira, Mira mengangguk.
Sudah hampir 2 minggu aku tak bertemu dengan Mira. Ya, kami sedang libur semester sekarang selama kurang lebih tiga minggu. Biasanya setiap hari jumat kami datang ke pengajian bersama-sama. Tapi entah kenapa sudah dua minggu ini Mira tidak datang. Aku coba menghubungi ponselnya, tapi selalu tidak aktif. Mungkin dia sudah berganti kartu. Sore ini, aku jalan-jalan ke taman komplek sendirian. Ya, karena sampai saat ini Mira belum ada kabar. Saat aku duduk di bangku taman sambil membaca novel penulis favoritku aku melihat seorang berjalan sendirian sambil fokus terhadap ponselnya. Aku amati gadis itu, dan ternyata, Mira! Aku segera menghampirinya.
“Mira?” panggilku sambil mendekati gadis itu, lalu ia menoleh.
“Oh, hai Nay. Aku kangen sama kamu,” jawabnya dengan wajah yang sangat bahagia.
“Mira kamu kenapa tidak pakai jilbab?” tanyaku dengan rasa tak percaya.
Aku sangat kaget melihat Mira tidak mengenakan jilbabnya. Padahal kami dulu selalu menutup aurat. Tapi kenapa kini ia melepasnya?
“Sudahlah Nay, aku tidak mau membicarakan itu. Lagi pula tidak berjilbab aku cantik kan?”
“Mira, ini bukan soal cantik atau tidaknya. Tapi berjilbab kan kewajiban seorang muslimah. Kenapa kamu melepas jilbabmu, Mir?” tanyaku kembali.
“Riko tidak suka kalau aku pakai jilbab.” Ucapnya pelan.
“Apa? Jadi semua ini karena Riko? Kamu rela melepas jilbabmu hanya karena dia? Nay, aku kan sudah bilang kalau pacar itu..” ucapanku terpotong.
“Bukan segalanya? Iya kan kamu mau bilang begitu? Tapi bagiku Riko itu segalanya Nay. Aku sangat menyayangi dia, dia juga sangat menyayangiku,” ucapnya dengan sedikit nada tinggi.
“Tapi Mira, aku ini teman kamu. Aku ingin kamu kembali seperti dulu mengenakan jilbab. Riko memang mungkin menyayangimu. Tapi belum tentu dia yang akan menjadi suamimu. Jangan terlalu percaya pada janji laki-laki Mira.” Ucapku panjang lebar.
“Kamu kenapa sih gak suka aku bahagia, Nay? Oh iya aku tahu, kamu juga suka kan sama Riko? Iya kan? Kalu kamu teman aku, kamu pasti bakal senang aku bahagia. Kamu bukan teman aku Nay,” ucapnya membentakku.
Astagfirullah, baru kali ini aku melihat Mira berbicara dengan nada setinggi itu padaku. Tak ku sangka dia berubah begitu saja. Aku sangat sedih Mira berbicara seperti itu. Sore itu langit berubah menjadi mendung, seakan tahu apa yang ku rasakan saat ini. Masa masa sekolah telah kembali, aku berangkat sekolah dengan penuh harapan kalau Mira akan berubah seperti dulu. Tapi nyatanya, harapanku hanyalah angan-angan. Mira masih cuek padaku, bahkan kami yang tadinya duduk sebangku, kini berpisah. Tak jarang jika jam istirahat aku melihat Mira dan kak Riko makan di kantin berdua. Padahal tadinya, jika jam istirahat aku yang makan bersama Mira. Saat pulang sekolah, Mira diantar oleh kak Riko. Dan aku hanya berjalan kaki sendirian. “Kamu berubah Mir.” lirihku.
Minggu ini, aku habiskan untuk menyelesaikan tugas-tugas sekolah. Biasanya hari minggu aku dan Mira selalu jalan-jalan ke tempat-tempat baru. Tapi mungkin sekarang dia sedang menghabiskan waktu bersama kak Riko. Tak lama aku mengerjakan tugasku tiba-tiba ada yang mengetuk pintu kamarku. Aku segera membukanya. Dan aku sangat terkejut bahwa yang membuka pintu itu adalah Mira dengan pipi yang basah oleh air mata.
“Mira, kamu kenapa nangis Mir?” tanyaku khawatir, Mira memelukku dan menumpahkan tangisannya di pelukanku. Aku menyuruhnya duduk di kursi dan aku membawakan segelas air putih. “Ayo ceritakan ada apa denganmu?” tanyaku baik-baik. Mira mulai mengatur napasnya.
“Riko selingkuh Nay, dia jalan dengan gadis lain.” Ucapnya dengan ai mata yang masih mengalir.
“Mungkin itu saudara atau temannya, Mir? Coba kamu tanya dulu.”
“Aku lihat dia bergandengan dengan gadis itu, Nay. Aku tanya dia, dan ternyata gadis itu pacarnya Riko. Dia selngkuh Nay.” Ucapnya sambil berhambur memelukku kembali, aku sangat bingung harus menjawab apa.
“Aku bodoh Nay, aku terlalu percaya omongan dia dibandingkan kamu. Maafkan aku Nay, aku sudah membentak kamu. Aku sangat menyesal Nay. Aku juga menyesal karena telah melepas jilbabku.” Mira berbicara dengan sesenggukan.
“Sudah Mir, jangan seperti itu. Kamu tidak bodoh, hanya saja kamu belum menyadari. Aku sudah memaafkanmu Mir.” Ucapku, Mira menatapku.
“Terima kasih Nay. Kamu memang sahabat terbaik yang pernah aku miliki,” ia tersenyum dan aku juga tersenyum.
Dan sekarang, Mira telah memakai jilbabnya kembali dan rutin mengikuti pengajian bersamaku. Di sekolah, kami juga duduk sebangku kembali. Mira juga tidak mau pacaran lagi. Kini ia juga percaya, kalau pacar bukanlah segalanya. Karena ada yang lebih penting dan sangat penting yaitu masa depan kita. Semoga persahabatan kita diberkahi oleh Allah, Mir. Amin.

Selapis Roti Bakar Untuk Kepergian Ayah

Apakah aku masih hidup?. Ah, pasti aku masih hidup karena jika tidak pasti bukan disinilah tempatnya. Meski aku belum pernah melihatnya tapi aku yakin tempat ini bukanlah alam kubur, neraka apalagi surga. Ada bayangan hitam menghalangi pandanganku. Apakah itu malaikat maut? apakah ia akan menjemputku sekarang?. Apakah aku tak lagi diberi kesempatan?. Bayangan hitam itu semakin mendekat, menggenggam tanganku yang berhiaskan gelang identitas bertuliskan “Nura” nama kecilku. Genggaman tangan itu dingin seperti tak setetes pun darah mengalir padanya. Genggaman itu serasa membekukkan tanganku. Aku tak lagi bisa bergerak, aku tak bisa menghindar apalagi berlari. Bayangan itu mengenggam erat tanganku nyaris meremukkan tulang pergelangan tangan. Aku ingin berteriak, tapi suaraku tercekat. Tak ada satupun suara yang keluar selain “ah” dan “uh”. Seolah tenagaku telah raib. Aku kehilangan keseimbangan begitu melihat pemandangan dihadapanku.
Tubuhku bergetar hebat, takut sekali. Hingga kejutan keras merasuki tubuhku, hangat, serasa darah kembali mengalir. Bayangan hitam itu menghilang, telah berganti bayangan putih dokter dan para suster. Ada tiang kurus disampingku, menggantungkan tabung infus yang mendikte tetes demi tetes kehidupanku. Ternyata aku benar-benar masih hidup. Tak membutuhkan waktu lama sebelum suster memindahkanku ke ruang rawat. Berbagai wajah datang silih berganti. Tersenyum dan prihatin. Tapi aku tak lagi peduli, karena wajah yang kucari itu tak akan pernah ada, tak akan pernah bisa kulihat lagi. Terbersit perasaan menyesal, mengapa aku masih hidup?
Aku terbangun dan hari-hari itu telah berlalu sedemikian cepat, serasa hanya tertidur beberapa jam saja. Bunga dalam vas itu telah berganti rupa menjadi bunga yang lebih segar, ada yang menggantinya. Mungkin beginilah tradisinya, bunga diganti saat pasien kamar ini juga berganti?. Aku harus segera meninggalkan tempat memuakkan ini, meski setelah semua kejadian itu akan membuat keadaan di luar sana lebih memuakkan. Aku berjalan melintasi rutinitas yang mendadak terasa begitu asing bagiku. Tiba-tiba aku merasa menjadi salah seorang dari pemuda yang beratus-ratus tahun tertidur dalam gua lalu terbangun dan mendapati dunia telah sedemikian berubah. Apakah telah sedemikian lama aku tertidur?.
Batu nisan dihadapanku hangat tertimpa cahaya matahari pagi. Wajah yang kunanti itu telah terbenam disini, meninggalkanku dengan berbagai urusan dunia yang kini harus kuselesaikan sendiri. Ah, kita bahkan belum sempat saling mengucapkan salam perpisahan, kau hanya sempat membisikkan keinginan terakhirmu untukku. Meski aku tahu benar apa keinginanmu, keinginan yang rasanya sampai kapanpun tak akan pernah bisa kuwujudkan. Maafkan aku bu, karena sampai kapanpun aku tak akan pernah bisa mencintai ayah seperti ibu mencintainya. Aku tak akan pernah bisa melakukan lebih dari yang kau lakukan untuknya. Aku tak akan bisa bersabar lebih dari kesabaranmu menghadapinya. Aku tak akan pernah bisa mencintainya lebih dari cintamu padanya.
Kau datang saat usiaku genap delapan tahun, hadiah yang terindah bagiku. Jarang sekali ada anak yang menerima hadiah seorang ayah di hari ulang tahunnya bukan. Sejak kecil aku selalu menanyakan kemana kau pergi, tapi Ibu selalu mengatakan bahwa kau pergi jauh untuk bekerja. Aku menerima saja. Tapi, hadiah itu tak seindah yang kubayangkan. Kau selalu menolak permintaanku untuk jalan-jalan di akhir pekan, bahkan hanya sekadar bermain dan menemaniku belajar pun, kau tak pernah ada. Kau selalu pergi setiap hari kecuali di akhir pekan, entah untuk alasan apa.
Akhir pekan itu akan selalu jadi hari yang istimewa untuk kami, untuk ibu tepatnya, karena hanya di akhir pekanlah kau akan datang. Seandainya kau tahu, Ibu selalu menyambut kedatanganmu dengan cara terbaik, meski ia tahu betapa kau tak akan pernah membalas apapun atas pengorbanannya. Sementara bagiku, akhir pekan hanyalah masa-masa sulit diantara sekian kebahagiaanku bersama Ibu.
Setiap akhir pekan Ibu akan pergi bekerja ke tempat sahabatnya dan menginap selama dua hari, kau tentu tak memberikan sepeser uangmu pada kami. Kau hanya datang sebagai parasit, menumpang dan menyulitkan. Aku harus bangun sepagi mungkin, menyiapkan air hangat untuk kau mandi, menyiapkan sarapan hingga makan siang dan makan malam. Maka selama dua hari itu menyisakan aku dan dirimu, dirumah sesak ini, akan selalu menjadi masa-masa penantian yang menegangkan, karena setiap kesalahan ada bayarannya sendiri. Seperti pagi itu. Kau terbangun lebih awal karena panci yang tak sengaja kujatuhkan, menimpa beberapa alat rumah tangga yang lain, mengusikmu. Kau tak pernah banyak bicara, hanya melayangkan tatapan dingin itu. Genggaman tanganmu yang kuat menggusurku, dan membiarkanku seharian terkunci di ruangan berukuran 1×2 m tanpa jendela dan lampu. Aku takut, sangat takut.
Sejak kecil aku tak bisa berada dalam kegelapan, kesesakan akan merasuk dan mencekik penuh kekuatan. Selama lebih dari 24 jam kau mengurungku. Aku berteriak memohon kepadamu sekuat yang kubisa tapi tak ada yang berubah, kegelapan itu tetap meliputiku. Saat itu aku berfikir mungkin aku akan segera meregang nyawa. Ah, kau ingin membunuhku secara perlahan. Dalam kegelapan itulah, pertama kalinya aku mengenal rasa benci dan dendam. Hingga sayup-sayup langkah tergesa itu terdengar. Perlahan pintu itu terbuka dan serasa oksigen membanjiri saluran pernafasanku, menenangkan.
Ibu datang dan memelukku, aku ingin memanggil namanya namun tak ada satupun yang keluar. Ibu menatap mataku, bibirnya bergerak-gerak seolah mengatakan sesuatu, namun tak ada yang kudengar. Angin serasa mati sehingga bunyipun tak bisa merambat. “Ibu?” aku merengek dalam hati. “Nura? kamu dengar ibu sayang?” aku tak mengerti. Ibu terus mengelus kedua telingaku. Aku tak bisa berbicara, aku tak bisa mendengar apapun. Air mata hangat membanjiri pipiku, kau berdiri tepat dibelakangan Ibu, dengan wajah yang tak pernah berubah. Selalu dingin. Aku membencinya, namun tak bisa mengatakan apa-apa.
Tapi, aku mencoba belajar memaafkan masa laluku sendiri. Entah siapa yang patut dipersalahkan dan harus bertanggungjawab atas masalah ini. Entah siapa harus memaafkan siapa. Tapi satu hal yang pasti, ibu selalu memintaku untuk belajar memaafkan. Belajar memaafkanmu jika dalam seminggu itu tak sekalipun kau pulang. Belajar memaafkanmu jika dengan sengaja tanganmu mengayunkan tamparan yang bagiku terasa lebih menyakitkan hati dibanding menyakitkan pipi ini. Belajar memaafkanmu jika sumpah serapah mengawal setiap aktivitasku. Bertahun-tahun aku bertahan dengan cara seperti ini, mungkin karena keyakinan akan cintaku sendiri.
Sering aku bertanya apakah kau tak lelah mempertanyakan kesungguhanku. Apakah kau tak pernah lelah mengujiku. Aku tak pernah membutuhkanmu untuk memberikanku apapun, bahkan sejumput dari kebahagiaanpun aku tak memerlukannya darimu. Toh, aku bahagia dengan caraku sendiri, bahagia dengan selalu belajar memaafkanmu. Aku hanya membutuhkan pengakuanmu. Pengakuanmu bahwa aku dan ibu ada, tapi kau selalu membutakan dirimu sendiri.
Penjara itu tak sedingin tatapan mata yang kau layangkan padaku. Dia mati. benar?” katanya dengan bahasa isyarat. Sejak peristiwa pengurungan itu, aku tak lagi bisa bicara dan mendengar. Lalu Ibu mengajariku menggunakan bahasa isyarat. Ibu juga mengajariku untuk terus memaafkan, ibu mengajariku untuk terus mencintai dan menjagamu. Tapi pertanyaan itu begitu menusuk tajam, menghancurkan pertahanan pertamaku, sekian lama aku berusaha untuk tak bersedih karenamu. Aku hanya mengangguk seolah semua yang terjadi adalah biasa saja. “Apa kau mau ikut dia? Mati.” tawamu meledak menggema diruangan sempit itu, Barangkali jika aku masih bisa mendengar, suara itu akan memekakkan telingaku. sekali lagi tenagaku serasa raib, aku terduduk dipojokkan. Aku harus segera pergi.
Fitta menahan tanganku, nampak tak yakin bahwa aku akan mengunjungimu lagi. Sudah seminggu ini aku berbagi tempat dengan Fitta, sahabatku di kampus dulu. Aku mengangguk tegas, aku harus melakukannya untuk Ibu. Saat pertama kau datang dalam kehidupan kami, Ibu mengajariku untuk membuat roti bakar. “Ayahmu sangat suka roti bakar selai stroberi buatan Ibu, jadi kau harus mulai belajar membuatnya supaya kau bisa menggantikan ibu kalau ibu sudah tak ada..” Saat itu aku merasa betapa ibu akan pergi jauh. Aku tak pernah membayangkan bagaimana jika suatu saat aku harus benar-benar kehilangan Ibu, karena dia lah satu-satunya alasan aku bisa bertahan untuk mencintaimu.
“Kalau ayah menyukai roti bakar buatan Ibu, kenapa dia membenci kita bu?” tanyaku suatu ketika. Ia membelaiku penuh perhatian. “Jangan pernah kamu tanyakan mengapa ia membenci kita? dan mengapa kita harus mencintainya, jika dengan cara ini ibu bisa bertahan untuk mencintai ayahmu, maka kau pun pasti bisa” Terkadang aku merasa sangat takut, Ibu terlalu percaya diri bahwa aku bisa melakukan semua yang telah ia lakukan. Ibu terlalu percaya diri bahwa aku bisa menggantikan posisinya. “Kamu yakin mau pergi ra, biar saya ikut ya?” Aku menggeleng kuat, aku yakin diriku sendiri sudah cukup akan mengusik kenyamananmu. Aku pamit, membawa dua lapis roti bakar selai stroberi kesukaanmu.
Aku merasa seperti anak burung yang tersiram hujan. Kuyup dan mengkerut. Takut-takut aku berjalan. Inilah kali kedua aku membesukmu. Seorang penjaga mengantar dan mengawal pertemuanku denganmu, berbataskan jeruji besi yang dingin. Aku mengetuk sel besi dengan cincin murahan untuk memanggilmu yang terbaring di kasur. Kau menoleh juga. Aku menunjukkan roti bakar buatanku. Satu langkahmu berhasil menyurutkanku beberapa langkah. Ah, rasanya seperti berhadapan dengan harimau yang kelaparan. “Pulang!” sentakmu sambil mengibaskan tanganmu tanda menyuruhku untuk segera pergi, kau penuh kendali. Gentar. Tapi, tak mungkin, aku sudah sampai sejauh ini. Roti bakar buatanku? tak boleh sia-sia. Kau harus memakannya. “Heh? pulang!” sentakmu lagi. Aku mendekat dan menyodorkan roti dan beberapa buah jeruk. Kau tetap mengabaikanku. Tapi begitulah ibu, maka semua ini harus kulakukan. Kata ibu, inilah belajar mencintai dan menyayangimu. Ya, sekali lagi aku diajarkan untuk memaafkan perlakuanmu padaku. Tak apa..aku lebih pandai memaafkan daripada mencintai. Jadi, aku harus lebih banyak belajar. “Jangan pernah datang lagi.! dasar bisu! tuli!” cacinya. Rasanya hati ini sakit sekali melihatnya. Sudahlah, Ibu bilang ia tak pernah bersungguh-sungguh dengan kata-katanya. Lelah kaki ini melangkah pergi.
Meski begitu, semua berlalu bagai rutinitas yang tak akan terganti. Akhir pekan yang sama. Dapur yang sama. Alat pembuat roti bakar yang sama. Jalanan yang sama. Penjara dan penjaga yang sama. Sudah dua bulan berlalu sejak pertama kalinya aku menjengukmu, berarti ini akan jadi kali ke sembilan aku datang. Namun, belum ada yang berubah dalam hati ini. Setiap kaki ini menapak lantai penjara yang dingin, selalu saja mekanisme yang sama berulang. Hati ini mencoba mempersembahkan kasih sayang, lalu kau menjatuhkannya, aku akan sedih lalu aku akan belajar memaafkan. Tanpa benar-benar ada kasih sayang yang begitu tulus datang. Bagaimana bisa datang? jika setiap aku tertidur, maka mimpi itulah yang selalu hadir. Mimpi tentang hari-hari yang penuh ketidakpastian itu. Bagaimana bisa datang? jika setiap kaki ini melangkah ke dapur maka yang terasa adalah kaki-kaki yang rapuh menembus panas, hujan dan rela menunggu berlama-lama hanya demi mengulurkan tangan memberikan roti bakar stroberi kesukaanmu. Bagaimana bisa datang? jika setiap diri ini menunggu roti yang panas terbakar, maka yang hadir adalah perasaan kecewa, menumpuk dan terbakar, memenuhi hati dan berkembang menjadi rasa benci setiap kali melihat tanganmu terulur keluar jendela mobil dan melemparkan roti bakar itu ditikungan pertama setiap kepergianmu. Bagaimana bisa datang? jika setiap tangan ini bergerak mengoleskan selai stroberi kesukaanmu, yang terbayang hanyalah darah segar yang mengalir dari punggung ibu yang kau jadikan sasaran pisau terasah tajam. Kau memang pembunuh, dan aku harus mencintai dan menyayangi seorang pembunuh?. Ah ibu, kau benar-benar terlalu percaya diri meninggalkanku untuk urusan ini.
“Hari ini besuk lagi? aku heran mengapa kau belum juga menyerah padahal dia selalu melarangmu datang?” Fitta masih selalu protes, sekali pernah ia ikut membesukmu, dan kau mengamuk hebat mengusir kami. Sejak saat itu ia kapok memaksa untuk menemaniku. Aku mengangguk tegas. Ya, mungkin aku telah sedemikian bodoh mau melakukan ini. Ibu sudah tak ada, tak ada seorangpun yang akan mengevaluasi janjiku padanya, ibu tak akan pernah tahu aku mengingkari janjinya. Tapi, aku hanya ingin menepatinya saja, untuk alasan apa? akupun belum tahu.
Seperti biasa, roti bakar selai stroberi yang masih hangat, kubuat dua susun. Hari ini aku ingin sedikit menambahkan sesuatu untukmu. Sebelum berangkat, kusambangi minimarket terdekat. Membeli satu susu kotak ukuran 1 liter, buah apel dan beberapa makanan ringan. Bolehkan di penjara makan seperti ini?. Kau akan kuiziinkan membaginya dengan temanmu. Entah mengapa hari ini aku begitu menikmatinya. Butuh dua kali naik angkutan umum untuk mencapai tempatmu. Penjara yang apek dan dingin. Penjaga itu hafal betul dengan kehadiranku yang rutin, akhir pekan pukul 10.00. “Ayah aku datang?” bisikku dalam hati. Aku kembali mengetuk jeruji besi dengan cincin murahan yang terpasang di jari tengahku, saat melihat kau masih terbaring, nampak sedang tertidur. Ah, rasanya seperti membangunkan harimau lapar yang tertidur. Kau terbangun, melayangkan tatapan yang dinginnya serasa bisa menimbulkan luka bakar dan tajamnya serasa menimbulkan luka tusuk. Tapi aku tetap diposisiku, mencoba mempertahankan kedudukan.
“Selalu keras kepala, aku tak butuh makanan yang kau bawa, aku juga tak butuh kau datang kemari.” Aku tahu, aku hafal betul gerakan tangan itu. Kau mengucapkannya setiap kehadiranku. Meski selalu mengusirku, kau akan membiarkanku duduk dan menatapmu saja, rasanya setiap saat itu aku hanya menontonmu. Seperti menonton pertunjukkan saja. Jika ibu masih ada, barang tentu ia akan cemas melihat kondisimu yang begitu memprihatinkan, semakin kurus. Tiba-tiba tawamu berderai menyakitkan. Tawa itu pula yang terdengar selepas kau membunuh ibu. “Apakah ayah tak pernah menyesal telah melakukan semua ini padaku dan ibu?” entah mengapa pertanyaan itu meluncur begitu saja.
Tapi sunyi mencekam. Kombinasi yang sempurna dengan suasana penjara yang suram, gelap. Mengingatkanku akan kegelapan yang mencekik saat kau menyiksaku habis di ruangan kosong rumah kita. Ruang eksekusi, barangkali. Tak pernah terbayangkan akan berapa lama aku bertahan dengan cara seperti ini? aku ingin berhenti bu? aku ingin berhenti pura-pura peduli!, aku ingin berhenti pura-pura mencintai! aku ingin berhenti pura-pura menyayangi ayah!. aku ingin berhenti membuatkan roti untuknya! Aku tak mau lagi memaafkannya?.Aku ingin marah padanya. Aku ingin berhenti saja bu!
Terdengar langkah kakimu yang rapuh, berjalan dengan menyeret kaki kirimu. Semakin dekat, kuberanikan diri mendekati jeruji besi yang memisahkan kita. Hingga tiba-tiba nafas ini terasa sesak tercekat, dahi ini berdenyut semakin cepat. Beberapa penjaga berhamburan mendengar suara benturan tubuhku dengan jeruji besi. Menopang tubuhku yang mulai oleng. Seterusnya hanya hampa dan dingin. Serasa ada badai besar yang menghampaskanku, melewati satu persatu kenangan itu. Menusuk-nusuk sakit, lalu ibu akan selalu datang sebagai kupu-kupu indah yang menenangkan. Tapi seperti itulah kupu-kupu, hanya sesaat, lalu terbang bahagia menjemput kematiannya sendiri. Meninggalkan aku yang mulai harus melewati malam-malam dalam kebusukkan.
“pergi!!” kata-kata itu yang juga menjadi deretan hafalan dalam otakku. Saat anak-anak lain senang menghafal huruf, justru sumpah serapahmu yang bisa kuhafalkan. Mendengung terus, menyakitkan. Malam pertama aku mengenal rasa benci, mempelajari dendam itu kembali terulang. Bogem mentah melayang dari dua arah, ah aku merasa menjadi sansak tinju. Kancing bajuku nyaris terpereteli semua karena cengkeramanmu, dan aku nyaris kehilangan nafas yang tanpa kau cekik pun aku sudah cukup kesulitan bernafas. “Ibu.. aku belum mau mati” rengekku dalam hati, hingga sayup-sayup terdengar langkah berlari. Ah, itu dia. Ibu akan datang melindungiku. Memelukku dan mengatakan “berhenti yah!” lalu tak lama terbangun dipagi hari dengan hiasan luka lebam dimana-mana. Setiap pagi itu aku selalu terbangun dengan tangisan menahan rasa sakit. “aku ben..” ibu menahan tanganku. Ia tak pernah mengizinkanku mengucap satu kata itu “Benci”, bertahun-tahun selalu seperti itu. “Jangan pernah katakan kamu membenci ayahmu nura.., tolong..”
Lalu kapan kisah ini akan selesai? Selama aku bertahan untuk belajar mencintainya, bersabar karenanya dan memaafkan kesalahannya, ternyata memang tak mudah. Ah, aku sudah lelah. Semuanya harus segera berakhir.
Laboratorium penelitian di lantai lima itu masih sepi, hanya beberapa makhluk berbaju putih dan tanpa alas kaki bekerja tekun di pojokkan. Aku sering diizinkan menemani Fitta di laboratorium ini. Tesisnya baru saja selesai, barangkali inilah kali terakhir aku akan duduk disini. Kursi di dekat jendela dan sebuah spektrofotometer berdebu yang sudah rusak selalu menemaniku. Kubersihkan spektrofotometer itu, sebagai ucapan perpisahan. Pagi ini aku akan membersihkan semua, menyelesaikan segala urusannya. Akhir pekan ini aku akan menemuimu, ayah.
“Kamu sakit nur? wajahmu pucat begitu?” Fitta mendekat dan menempelkan tangannya tepat didahiku. “Wah, kamu demam nur, ayo rebahan biar aku buat air hangat dulu ya” Sebenarnya lebih dari cuaca yang menyebabkan badanku terasa menggigil sejak tadi malam. Namun, lebih karena pergolakan batin yang menyesakkan ini. Dadaku terasa sempit. Kucoba merebahkan badan, tapi berjuta bayangan muncul. Mengelilingi, membuat kepalaku terasa berputar dan pening. Sebuah ketukan pintu mengalihkan perhatianku. Ibu datang membawa baskom berisi air hangat, wajahnya pucat pasi. Seolah seluruh kebahagiaannya telah raib dari wajah cantik itu. Aku mengusap pipinya perlahan, mencoba saling menguatkan. “Apa kamu masih sesak nur?” aku hanya mengangguk lemah, disekap selama lebih dari 24 jam benar-benar menguras tenagaku. Aku ingin memeluk ibu, pasti menenangkan rasanya. Namun, sebuah hantaman keras membuat tubuh kurus itu terkapar. Wajah itu terpampang dihadapanku, dingin dan bengis. Ia menggusur kerah baju ibu hingga sobek, mendorongnya ke pojokkan. Menamparnya habis. Aku ingin memeluk ibu, aku ingin melindunginya, tapi tak sedikitpun tubuhku dapat bergerak, mati. Bahkan berteriak pun aku tak mampu. Sumpah serapah itu terasa menakutkan. Amarah terbesarnya sepanjang hidupku. Aku tak mampu melakukan apapun, telingaku tak mendengar apapun, hanya pandangan yang mulai kabur melihat sisa-sisa peristiwa mengerikan itu. “Pembunuh!!” teriakku dalam hati, ia berjalan ke arahku, menggenggam tanganku keras, menjatuhkanku dari tempat tidur dan mencekik leherku hingga lemas. Aku tahu, saat itu aku dan ibu bemar-benar akan mati. Barangkali inilah akhir semua penderitaan kami.
Tapi tiba-tiba kau berlari meninggalkan aku yang sibuk mengais-ngais oksigen untuk bernafas. Ibu disampingku. Aku menangis, takut sekali. “Jangan menangis Nura..” bisikkan itu menenangkanku, ah, ibu masih hidup. Aku memeluknya, namun punggungnya basah, basah oleh darah yang tak berhenti mengalir. Aku ingin berteriak tapi tak ada yang keluar selain tangisan bisu. “Kamu kuat Nura sayang, kamu bisa. Ibu minta satu hal, jangan pernah benci ayahmu. Berusahalah terus untuk mencintai dan menyayangi ayahmu, kamu bisa?” Aku menggeleng, aku tahu aku tak akan mampu melakukannya. Berbohongpun percuma. “Ibu tak peduli apapun jawabanmu, tapi Ibu percaya kamu akan berusaha melakukan yang terbaik untuk Ibu..” Sebuah pukulan keras membuat Ibu meregang nyawa, sementara aku hanya bisa menangis. Kau kembali mencekik leherku. Ibu, bagaimana bisa aku memenuhi permintaanmu, barangkali sebentar lagi aku akan menyusulmu pergi. Namun diluar dugaan sirene yang berbunyi diluar memaksamu melepaskan cengkeraman dileherku dan pergi.
“Nura? Nura? kamu kenapa?” Fitta panik demi melihatku mencekik leherku sendiri. Fitta berusaha keras melepaskannya hingga aku menyerah dan terduduk lemas. Ia menangis. Tak pernah kulihat ia menangis sebelumnya. Aku menatap ke sekeliling. Baskom air panas terjatuh. Aku menatap Fitta penuh tanda tanya, Ia menggamit tanganku. Aku menyerah dan membiarkan mataku terlelap. Ah, aku ingat. Besok akhir pekan yang kunantikan itu. Aku akan menemuimu, Ayah.
Aku berjalan gontai, Fitta masih terlelap. Aku tak ingin ia tahu kepergianku. Seperti biasa, berbekal roti bakar stroberi kesukaanmu. Hari ini terasa ringan. Aku akan menghentikan semuanya, aku akan menuruti keinginanmu. Aku tak akan lagi menemui di penjara. Aku tak akan lagi membuatkan roti bakar untukmu. Aku tak akan lagi membebanimu.
Ragu-ragu aku melangkah, aku yakin ini di luar jam besuk. Tapi, harus sekarang juga, tak akan ada waktu lagi. Seorang penjaga yang baru kulihat berdiri memperhatikan kehadiranku. “Ada keperluan apa mba?” aku terdiam. Ah, ia tak tahu aku tak bisa mendengar apapun yang ia katakan. Ah, kemana penjaga yang biasa. Ia akan mengerti apa yang kukatakan. Kehadiran rutinku tiap minggu membuatnya sedikit banyak mengerti dan bisa menggunakan bahasa isyarat.
Aku mengeluarkan secarik kertas dan mengatakan ingin bertemu dengan ayah, mendesak. Sial. Penjaga baru itu tak mengizinkanku masuk. Aku mencoba memaksanya, meski tak memberikan pengaruh apapun. Penjaga itu justru semakin kebingungan. Perselisihan kami terdengar oleh beberapa penjaga lain. Salah seorang diantara yang keluar itu, ada yang mengenaliku. “Ayah? aku ingin menemui ayah” aku tersenyum padanya. Ia mengangguk-angguk tanda mengerti. Ia mengajakku duduk. “Mana penjaga yang biasa?” tanyaku sedikt berbasa-basi dan menenangkan keadaan. Penjaga itu memegang pundakku seolah meminta pengertianku. “Ada apa?”
“Penjaga yang biasa itu sudah meninggal, baru tadi malam” aku mengungkapkan turut prihatin. Tapi aku tak bisa terlalu lama, aku harus segera bertemu ayah. “Aku mau bertemu ayah?” Ia mengangguk mantap. “Nura, kamu harus tahu ini. Semalam, ayahmu dan beberapa tahanan lain telah melarikan diri, ayahmu yang membunuh penjaga itu” Duniaku kembali terguncang. Aku ingin berteriak lagi. Meski yang terdengar hanya tangisan bisu. Aku ingin bertanya bagaimana bisa, tapi merasa sudah tak berguna lagi.
Langkahku semakin tak menentu. Kakiku sudah tak kuat lagi melangkah. Sebuah ayunan di taman yang sepi. Seluruh rencanaku gagal sudah. Padahal hari ini aku telah ingin mengakhiri semuanya. Bukankah semuanya harus selesai malam ini. Tiba-tiba aku merasa bodoh, ingin menangis tapi sudah tak bisa. Susah payah kuambil racun itu, dan kuoleskan diantara roti bakar kesukaanmu. Aku hanya ingin kau memakannya, lalu aku tak akan lagi menemuimu, aku tak akan lagi mengganggumu. Sia-sia kukumpulkan keberanian untuk melakukan semua ini. Sekarang kau entah ada dimana. Berada diluar. Bebas.
Aku tak lagi aman, kau tentu bisa saja muncul tiba-tiba. Lalu apa yang akan kau lakukan jika bertemu denganku. tentu kau akan membunuhku. Ah, dunia tak lagi aman untukku. Kugenggam erat roti bakar itu, nyaris hancur. Tidak, semua ini harus tetap berakhir. Tubuhku bergetar hebat. Aku harus segera memutuskan. Harus berakhir. Tubuhku bergetar semakin hebat, seolah sisa tenagaku berhamburan.
Aku terjatuh dari ayunan, rebah ditanah. Aku menarik nafas panjang. Telah kuputuskan. Dengan sisa tenaga yang ada, serpihan roti bakar yang hancur. Aku memakannya habis. Ayah..
Ayah…
Bisikkanku tenggelam dalam kebisuan yang semakin mendalam. Semua telah berakhir sesuai keinginanmu. Kau menang. Ibu..
Ibu..
Maafkan aku karena tak bisa memenuhi keinginanmu. Aku tak pernah bisa mencintai dan menyayanginya bu. Maafkan Aku. Nafasku terasa semakin sesak, lebih sesak dari segala siksaan yang kau lakukan. Tapi, aku tak lagi takut. Ibu, aku benar-benar ingin menemui kematianku hari ini.

Pertemuan 5 Sahabat

Suara Adzan Mengalun Indah memanggil hamba Allah untuk menjalankan sebuah kewajiban yaitu sholat subuh. Sejenak Sang surya menampakkan cahaya terangnya. Suara ayam berkokok mengiri kemunculan sang surya. Suasana pagi yang indah tuk awali sebuah perjalanan kehidupan. Hidup yang penuh misteri tuk dipecahkan. Ada yang bilang hidup adalah sebuah perjuangan, hidup adalah sebuah dramatisme atau cerita yang tak ada habisnya sebelum hembusan nafas terakhir. Penuh dengan suka cita dan duka nestapa.
Mentari pagi yang muncul dari arah timur seakan menjadi saksi awal hariku. Waktu itu jarum panjang jam di dinding masih di angka 6 tapi aku harus sudah meninggalkan rumahku yang terletak di ujung kota Kudus. Hari ini tepat hari sabtu, sekolahku mengadakan acara persami. Acara yang diadakan oleh Dewan Galang SMP 9 Bintang Ini di ikuti oleh 200 siswi. Dengan karisma abu-abu aku diantar oleh kakakku menuju SMP ku tercinta.
Sesampai di sekolah aku bertemu dengan teman-temanku. Beberapa menit kemudian suara lantang dari kakak pembina sudah terdengar memenuhi telingaku
“Siap Gerak!“, para siswi bergegas menata barisannya masing-masing. Seketika suasananya menjadi sangat hening.
“Sebelum kita berangkat, kita akan mengecek barang-barang yang akan kita bawa”, suruh kakak pembina
“Baik, kak“, sahut para siswi dengan serentak.
Serentak para siswi mengecek barangnya masing-masing, termasuk aku yang langsung meluncur ke tempat dimana aku menaruh barangku.
“Lampu senter, tikar, tenda, kompor, kayu bakar, kaos olahraga“, aku mengabsen satu persatu barangku, dan kurasa semuanya sudah lengkap.
“Gimana sudah lengkap semua?“, tanpa ku sadari ternyata disampingku telah berdiri kakak pembina dan menanyakan kelengkapan barang-barangku.
“Sudah, kak! “, karena kaget dengan spontan aku menjawabnya.
Setelah selesai mengecek aku dan teman-temanku kembali masuk dalam barisan.
“Apakah sudah lengkap semua?“, tanya kakak pembina yang berdiri tegak di depan lapangan yang berukuran 10 x 15 meter itu.
“Sudah, kak! “, sahutku dan teman-temanku bersama.
“Kalau sudah lengkap semua, mari kita berdoa bersama supaya acara kita dapat berjalan lancar dan bermanfaat bagi kita semua“
Suasana khidmat berlangsung kira-kira satu menit.
“Dimulai dari kelompok pertama, silahkan masuk ke dalam bus dan bawa barang-barang kalian“
Satu persatu kelompok masuk ke dalam bus yang diparkir kira-kira 100 meter dari sekolahku. Dan akhirnya tiba saatnya kelompokku untuk masuk ke dalam bus.
“Nala, Ais kalian berdua yang bawa kompornya ya!”
“Oke!“, jawab mereka dengan ikhlas.
Dengan segera kami masuk ke bus dan duduk di tempat yang telah tersedia.
“Kursi ini kosong ya?”, tanya salah seorang temanku yang belum mendapatkan tempat duduk.
“Iya, kosong, silahkan kalau mau duduk“, aku menawarkan kursi kosong itu.
“Wah, kebetulan nih! Makasih ya”, senang mendengarnya dia langsung berterima kasih kepadaku dan lekas duduk di kursi yan tadinya kosong itu.
“Ya sama-sama“
Teman yang duduk disampingku adalah siswi yang baru masuk satu bulan yang lalu, namanya Reina. Dia pindahan dari Semarang. Dia sangat cantik, wajahnya putih merona, bulu matanyapun terlihat sangat indah dipandang.
“Eh, ngomong-ngomong kenapa kamu pindah ke sini?”, tanyaku yang berusaha memulai pembicaraan.
“O, kalau itu sih karena ayahku pindah kerja ke sini, jadi mau nggak mau aku harus ikut kesini, lagipula ayahku nggak tega ninggal aku sendirian di Semarang”
“Jadi itu alasan kamu pindah kesini?”, dia mengangguk sambil tersenyum manis.
“Kamu asli orang Kudus ya?”, dia melanjutkan pembicaraan.
“Iya dong, keliatan ya?”, jawabku sok akrab
“Nggak juga kok, aku kan cuma asal nebak, hehehe”
“Aku kirain kamu paranormal“, candaku.
“Enak aja, bukan!”
“Tenang aja aku cuma bercanda, nggak usah di anggep serius”, kataku menenangkan.
“Ternyata kamu lucu juga“
“Tapi jangan salah, aku bukan badut lho!”
“Ya ya, aku juga tahu kalo kamu bukan badut”
“Udah satu bulan kan kamu disini?”
“Betul“
“Gimana rasanya?”
“Enak kok, temen-temennya juga asik-asik, termasuk kamu”
“Makasih pujiannya”
“Wah, busnya berhenti, asyik kita udah sampai“, teriaknya kegirangan.
“Yuk kita turun“, aku mengajaknya untuk segera turun dari bus.
Nggak terasa ternyata kita udah sampai ke tempat tujuan yaitu di perkemahan colo. Udara sejuk udah menanti. Kemah akan segera dimulai.
“Ayo anak-anak segera bawa barang-barang kalian masuk ke tempat perkemahan“ ujar kakak pembina mengarahkan.
“Ya, kak!“, kamipun masuk ke tempat perkemahan.
“Setelah itu, kalian dirikan tenda kalian masing-masing perkelompok”
Kamipun segera mencari tempat untuk mendirikan tenda. Tak lama kemudian tenda kami berhasil berdiri dan bunyi peluit telah terdengar. Itu tandanya kita harus berkumpul di lapangan.
“Bunyi peluit tuh“, kataku kepada Nafa
“Ya betul, ayo kita ke lapangan“, ajak Nafa
“Siap gerak!“, lagi-lagi suara kakak pembina terdengar lebih keras dari biasanya.
“Apel akan segera dimulai, kakak harap kalian bisa tenang“
Apel pembukaan akan segera dimulai. Para siswi segera merapikan barisan. Tanpa sengaja aku dan Reina berdiri saling berdampingan.
“Ketemu lagi kita“, kata Reina sedikit terkejut.
“Eh, kamu Reina“, sapaku.
“Para siswi diharap diam, apel segera dimulai”, kakak pembina memperingatkan siswi agar tetap tenang.
Apel pun telah dimulai, dan berjalan dengan lancar sampai apel berakhir. Raut wajah Reina terlihat seperti orang yang sedang kebingungan.
“Kamu kenapa sih, kok kayak orang kebingungan?”, tanyaku yang heran dengan sikap Reina.
“Emang aku lagi bingung, soalnya aku nggak tahu kelompok siapa“, terang Reina.
“Kok bisa?”, aku kaget mendengar perkataan Reina.
“Tadinya aku pikir aku udah dapet kelompok, tapi ternyata aku salah masuk“
“Ya udah kamu ikut kelompok aku aja“, tawarku yang melihat Reina kebingungan.
“Beneran nih!”, Tanya Reina untuk meyakinkan
“Ya bener, masa aku bohong”, tanpa ragu aku meyakinkan.
“Makasih sekali lagi ya“ dia tersenyum sambil memandang bola mataku.
“Nyantai aja lagi, kita kan temen“ aku membalas senyumnya.
“Fa, kenapa berdiri disitu, cepetan kesini”, suruh Ais, teman sebangkuku sewaktu kelas 8 di SMP kesayangan kami.
“Ya, sebentar. Yuk kita kesana“
“Yuk!”
Aku menghampiri teman-temanku yang sedang berkumpul di depan tenda biru beralaskan tikar.
“Semuanya, kenalin ini Reina“
“Salam kenal“, sahut teman-temanku.
Satu persatu teman-temanku memperkenalkan namanya. Setelah berkenalan kita membahas pentas seni yang akan kami tampilkan nanti malam.
“Gimana, udah siap semua kan buat pentas nanti malam?“, tanya ketua kelompokku yang biasa dipanggil Nafa.
“Kalau aku sih udah siap, tapi gitu lah tiap tampil pasti aku grogi”, kata Nala.
“Nggak apa-apa, yang penting kamu harus percaya diri, lakukan semaksimal mungkin”, aku memberi semangat temanku.
“Eh, ngomong-ngomong kalian ntar malam mau pentas apa?”, tanya Reina yang memang belum tahu apa-apa tentang pentas kita nanti malam.
“Oh ya, aku lupa ngasih tahu kamu, jadi nanti kita akan pentas nari”, Terangku kepada Reina.
“Jadi, nanti malam kalian akan pentas nari?”, Reina memastikan jawabanku.
“Rein, denger-denger suara kamu bagus“, Ais memuji suara Reina.
“Ah kamu bisa aja“, pipi Reina mendadak merah.
“Kemarin kan rencana kita musiknya pake suara Laptop, gimana kalo kita ganti sama suaranya Reina, daripada Reina nganggur kasian juga kan!”, usul Nafa.
“Kamu nggak keberatan kan Rein?”, tanyaku.
“Ya deh, aku mau“, Reina setuju dengan usul Nafa.
“Hore!” kami semua berteriak bersama.
“Emang lagunya apa?”, Reina menanyakan judul lagunya, agar dia bisa latihan sebelum pentas dimulai.
“Lagunya J-Rocks yang judulnya ceria“, aku langsung menjawab.
“Pas dong, itu lagu favoritku, yang ini kan!”, Reina memasukkan tangannya ke dalam tas hijaunya dan mengambil sebuah ponsel samsung berwarna merah muda. Lalu Reina bergegas mencari lagu tersebut di dalam daftar lagunya, dan mendedangkan lagu tersebut.
Kami mendengarkan lagu tersebut beserta lantunan suara Reina sampai lagu itu berakhir. Tepukan tangan kami terdengar heboh setelah lagu itu berakhir.
“Bagus banget Rein!”, Aku, Nala, Ais, dan Nafa memuji.
“Makasih semuanya”, lagi-lagi senyuman manis itu muncul dari bibir Reina.
Kegiatan demi kegiatan telah kami laksanakan. Kini tiba saatnya pentas seni dimulai. Kayu bakar di tengah lapangan sudah terbakar menjadi api unggun. Kami semua menyanyikan lagu api unggun bersama-sama diiringi tepuk tangan.
“Pentas seni akan segera dimulai“, suara kakak pembina mengawali pentas seni itu.
Kelompok kami mendapat undian nomor 4. Nomor undian 1 telah memasuki panggung pentas, mereka menampilkan sebuah drama yang berjudul “Tak kan terlupa mata indahmu ibu“. Sebuah judul yang membuat kami mengingat betapa pentingnya peran seorang ibu. Cerita itu membuat mata kami tak kunjung berhenti mengeluarkan air mata. Akhirnya drama tersebut selesai dan semua penonton bertepuk tangan sembari mengusap air mata yang menetes di pipi.
Dilanjutkan dengan penampilan kedua, yang kemudian disambung dengan penampilan ketiga. Kami sudah bersiap di belakang panggung, karena sebentar lagi adalah giliran kami untuk unjuk kebolehan.
“Sekarang kita persilahkan nomor undian 4 untuk memasuki panggung“, suara itu membuat hati kami berdetak semakin cepat.
“Sebelum masuk mari kita berdo’a dulu”, ajak Nafa. Kami berdoa agar pentas kami berjalan dengan lancar. Selanjutnya kami masuk panggung sederhana tersebut.
“Di sini kami akan menyanyikan sebuah lagu berjudul ceria yang akan diiringi dengan sebuah tarian”, kami segera memulai pentas kami.
“Hari ini ku dendangkan, lagu yang ingin ku nyanyikan”, Bait pertama lagu itu telah terdengar merdu.
Awalnya penonton hanya mendengarkan tetapi Reina tak kehabisan akal untuk membuat penonton tertarik dengan pentas kami. Dia mengajak para penonton untuk menyanyikan reff lagu itu bersama. Wajah riang para penonton sangat terlihat jelas oleh mata kami. Tak terasa lagu itu telah selesai. Tepuk tangan dari penonton terdengar sangat keras. Aku, Nala, Ais, Nafa, dan Reina saling memandang satu sama lain dengan senyuman puas.
Malam itu adalah malam terindah kami karena setelah pentas itu, hubungan kami menjadi semakin erat. Kamipun akhirnya memutuskan untuk menjalin sebuah pesahabatan.
Malam telah digantikan oleh pagi yang sejuk. Kegiatan kami selanjutnya adalah outbond. Para siswi sudah mengganti seragam coklatnya menjadi baju olahraga warna biru. Para siswi berjalan menuju lapangan. Di lapangan, kami diberi pengarahan tenang petunjuk jalan yang akan kami lewati. Setelah mengerti lalu kami menuju ke tempat outbond. Sampai di tempat outbond kami bermain. Setelah merasa puas kamipun kembali ke perkemahan.
“Duh, capek banget!”, ucap Nala dengan nada rendah.
“Capek-capek gini kan yang penting senang“, kataku dengan semangat meskipun dari ujung kepala sampai ujung kaki ngerasa capek juga.
“Ya juga sih!”, Nala menjadi semangat kembali.
“Ngomong-ngomong Reina, Nafa sama Ais kemana?”
“Tadi katanya mereka mau beli minum dulu di warung sebelah“, jelasku.
“Kok nggak ngajak-ngajak sih!”, Nala sedikit jengkel.
“Tenang aja tadi aku udah pesenin minuan buat kamu”
“Yang bener? Makasih banget“
“Ya, Eh itu mereka datang!”
“Hai Fa, hai Nal, maaf ya nunggu lama, soalnya tadi rame banget“, ujar Nafa.
“Nggak apa-apa kok“, jawabku.
“Ifa, Nala ini minuman kalian“ Reina menyodorkan minuman kepadaku dan Nala.
Tak beberapa lama kemudian kakak pembina menghampiri kami dan memberitahu kami agar segera membereskan barang-barang kami, karena satu jam lagi kita akan melaksanakan apel penutupan.
Satu jam telah berlalu, kami telah selesai membereskan barang-barang kami. Seketika suara nyaring peluit kembali terdengar oleh telinga kami. Itu tandanya kami harus segera menuju ke lapangan untuk melaksanakan apel penutupan.
“Reina, Ais kemana, kok nggak keliatan?“, mata Nafa melihat ke sekeliling.
“Kangen ya kok nyari aku?“, celetuk Ais dengan tiba-tida
“PD banget, dengerin tuh kakak pembina udah niup peluit kesayangannya!”
“Hahaha“ Aku, Nala, dan Reina tertawa mendengar jawaban dari Nafa
“Ya udah, ayo cepetan ke lapangan“, kami berlima segera berlari ke lapangan.
“Apel penutupan persami akan dilaksanakan, harap para siswi tenang”.
Tak terasa apel penutupan telah selesai dan kita akan pulang menuju rumah kami masing-masing. Senang dan sedih bercampur jadi satu di hatiku. Senang karena bisa kembali menjalani hari bersama keluarga. Dan sedih karena harus meninggalkan kenangan-kenangan manisku bersama sahabat-sahabatku di tempat yang indah ini.
“Jangan lupain kenangan kita disini ya!“, Pintaku, karena hari-hariku sangat berarti disini.
“Pasti lah! Kita akan inget selalu kenangan-kenangan indah kita disini”, ujar Nafa.
“Kalian ini, udah kayak mau perpisahan aja, kita kan masih bisa ketemu di sekolah“, kata Ais.
“Ya sih, tapi kan kita udah kelas 9, dan ini kemah terakhir kita di SMP 9 Bintang“, aku menjelaskan.
“Anak-anak bus kita sudah datang, silahkan kalian masuk!”, suruh kakak pembina.
“Yuk kita masuk ke bus“
Jam seakan berputar sangat cepat, bus kami sekejap sampai di sekolah, dan kami telah dijemput oleh orang-orang tersayang kami. Sebelum pulang kami berjanji untuk menjadi sahabat selamanya. Kemudian kami saling berpamitan satu sama lain. Dan pulang ke rumah kami masing-masing.

 
Design by Wordpress Theme | Bloggerized by Free Blogger Templates | free samples without surveys